Senin, 20 Juni 2011

Ibu Suryati : Kisah Pemulung di Cikapundung

Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat rekor terbesar untuk kegiatan Kukuyaan terbesar yang dilaksanakan di Sungai Cikapundung, Jawa Barat, pada hari Minggu, 19 Juni 2011. Kukuyaan dalam bahasa Sunda berarti kura-kura. Kegiatan Kukuyaan ini dikenal sebagai kegiatan mengalun di sungai menggunakan ban dalam dan kedua tangan mengayuh seperti layaknya kura-kura.

Ibu Suryati (50 tahun), pemulung sampah di Sungai Cikapundung dari tahun 1979, menyaksikan keramaian dan kemeriahan acara dari atas atap bangunan Paskam di sisi Sungai Cikapundung. Hari itu beliau tidak bekerja memulung sampah di sungai. Kesempatan itu digunakan Ibu Suryati untuk menjemur pakaian dan peralatan memulungnya. “Saya senang jika Sungai Cikapundung Bersih kembali. Dulu air Cikapundung bisa untuk minum dan mandi. Sejak akhir tahun 1980-an air sangat kotor dan sampah menjadi semakin banyak” katanya membuka pembicaraan.

Sejak tahun 1980-an Ibu Suryati sudah menjadi pemulung di Cikapundung. Dulu, beliau dan keluarganya tinggal di Cigondewah, Kopo.  Ibu Suryati adalah anak tunggal, begitu kedua orang tuanya meninggal dunia, hidupnya pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga kini di Cikapundung, beliau tinggal di bawah pohon kersen yang tumbuh di sisi sungai. “Rumah”nya adalah sehelai terpal biru berukuran 10 meter yang menjadi atap jika masing-masing ujungnya dikaitkan ke sisi-sisi pohon.

“Jam kerja saya malam hari” Kata Ibu Suryati setengah berkelakar. “Saya memulung mulai dari jam 6.30 malam hingga jam 12 malam. Kalau cape, saya tinggal buka rumah. Lebih enak memulung malam hari, tidak terlalu panas.”

Rekan-rekan pemulung di sungai Cikapundung sebagian besar pria. Untuk mengumpulkan sampah yang mengalun dengan aliran sungai, Ibu Suryati mengaku spesialisasinya adalah plastik. Botol kemasan air minum dan jenis plastik yang beliau sebut sebagai “emberan” memberikan harga jual paling tinggi.

Untuk harga botol kemasan, per kilogram-nya bisa mencapai Rp 7.000. Sedangkan emberan, per kilogram-nya sekitar Rp 1,500. Hasilnya itu dijual ke penampung. Dalam seminggu, penghasilan Ibu Suryani sekitar Rp 150,000.

Selain plastik, apa yang paling banyak ditemukan di sungai?. Ibu Suryati mengaku sering menemukan lintah atau ular sepanjang setengah meter berwarna putih dan hitam. Terutama setelah hujan. Tetapi yang paling mengejutkan beliau adalah menemukan mayat perempuan yang ddalam keadaan terpotong yang dijejalkan dalam sebuah kardus.

Ibu Suryati merupakan ibu dari empat orang anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki dan dua perempuan. Anaknya paling kecil sudah berusia 27 tahun dan sudah berumahtangga. Tapi, menurut Ibu Suryati, sebagai keluarga pun mereka jarang bertemu. “Mungkin mereka malu mempunyai ibu gembel seperti saya” kata Ibu Suryati dengan nada datar.

“Saya akan terus bekerja di Cikapundung. Saya sudah kenal sungai ini sejak lama dan ini seperti rumah saya. Harapan saya pun kalau bisa, saya ingin punya modal, buka warung. Tapi kalau bisa, tidak jauh-jauh dari tempat sekarang ini”. Ibu Suryati berbagi tentang harapannya.

Meskipun hidup sederhana dan seringkali kekurangan, Ibu Suryati menegaskan dengan tegas bahwa dirinya tetap tidak ingin menjadi peminta-minta. “Saya memang gembel, tetapi bukan penegemis. Saya ini pemulung”. Demikian tegasnya menutup kisahnya sebagai seorang pemulung di Sungai Cikapundung.

citarum.org

Selasa, 07 Juni 2011

Mantan Juara di Indonesia, Kini Jadi Pemulung

Jakarta - Pada masa jayanya, Hasan Lobubun merupakan seorang petinju hebat. Kini, setelah pensiun ia malah menjadi seorang pemulung.

Hasan Lobubun menjadi bintang ring tinju pada era tahun 80-an. Sepanjang kaiernya, Hasan pernah menyabet juara nasional kelas bantam junior pada tahun 1987. Kini, perjalanan hidupnya berubah drastis dengan menjadi seorang pengumpul barang-barang bekas.

Setelah beberapa tahun berkarier di ring tinju, kepopuleran Hasan tenggelam pada tahun 1990-an. Beruntung setelah pensiun, promotor Tourino Tidar mau menampungnya.

"Saya memang pernah tinggal di rumah pak Tourino. Tapi, saya sudah tidak di sana lagi karena sasana Tidar tidak aktif." papar Hasan seperti dilansir Bataviase.co.id, Rabu (11/8), ketika bertemu di Jalan Raya Cideng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Pada saat jayanya. Hasan sangat mudah ditemui di setiap pertandingan tinju profesional. Namun setelah hampir sekitar 15 tahun, sosoknya sulit ditemukan. Hasan kini telah beralih profesi sebagai seorang pemulung.

"Saya bekerja seperti ini karena tidak ada lagi pekerjaan. Ini demi menyambung hidup apalagi saya tidak punya saudara di Jakarta." tutur pria asal Ambon itu.

Di masa keemasannya, Hasan mendapat honor cukup lumayan dari olahraga adu jotos itu. Ia sempat membangun rumah tangga dan punya dua anak dari hasil perkimpoiannya. Setelah tidak punya penghasilan, ia bercerai. Kedua anaknya diboyong istrinya yang kini sudah berumah tangga lagi. "Saya sudah lama menduda dan kedua anak saya ikut dengan istri." paparnya.

Hasan menuturkan kehidupan pahitnya yang sudah hampir 7 tahun tidak bertemu dengan kedua anaknya. Berbagai pekerjaan sudah di lakoninya. Bahkan, ia pernah menjadi tukang parkir di Jalan Taman Tanah Abang II dekat kediaman Tourino Tidar.

"Bukan saya tidak mau bertemu, tapi saya tidak sanggup menemui mereka karena tidak punya uang. Biarlah perasaan rindu kepada mereka saya pendam di dalam hati. Kelak, kalau saya sudah punya uang saya pasti menemui mereka." ungkapnya.

Setiap hari Hasan bekerja mulai pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB untuk mencari kardus, barang rongsokan dan botol-botol minuman mineral di daerah sekitar Tanah Abang. Penghasilan yang diperolehnya pun tidak seberapa.

"Maksimal saya hanya bisa mengumpulkan barang bekas senllal 20 ribu, dan terkadang di bawah Itu karena banyak saingan. Saya menjualnya ke Jembatan Lima tempat penampungan." jawab pria lulusan Sekolah Dasar yang berharap pemerintah mau memberikan perhatian dan bantuan kepadanya. [ venom97.blogspot.com ]