Senin, 26 September 2011

Pemulung di Kota Bandung Tak Punya Biaya Bikin KTP

Bandung - Para pemulung yang tinggal di Kota Bandung rata-rata mengaku tidak memiliki KTP Kota Bandung. Walhasil mereka juga tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

"Saya senang dengan acara ini karena tidak punya uang untuk berobat dan tidak punya Jamkesmas," tutur Dewi (24) di sela-sela cek kesehatan dan pengobatan gratis di Jalan Asia Afrika Kota Bandung, Minggu (25/9/2011).

Dewi yang seorang pemulung itu mengaku bukan tidak mau memiliki KTP Kota Bandung. Namun karena tidak mempunyai uang, wanita asal Banten itu memilih tidak ber-KTP.

"Saya dan suami gak punya KTP, susah ngurusnya dan gak punya uang untuk mengurusnya," tuturnya yang baru satu tahun ini menjadi pemulung.

Hal yang sama diungkapkan Suliah (49). Wanita yang tinggal di bedeng-bedeng dekat rel kereta api kawasan Jalan Sumatera Kota Bandung tersebut mengaku sudah 15 tahun tinggal di tempat tersebut tanpa KTP.

"Saya aslinya dari Dayeuhkolot Kabupaten Bandung, tetapi karena di sana banjir terus jadi saya pindah ke Kota Bandung. Saya gak punya KTP jadi ada pengobatan seperti ini senang saja. Enakan di sini meski hanya jadi pemulung dan tinggal di bedeng. Di tempat asal saya sudah tidak punya apa-apa lagi," tuturnya.

inilahjabar.com

Minggu, 25 September 2011

203 Pemulung di Bandung Ikut Pengobatan Gratis

Bandung - Sebanyak 203 pemulung mengikuti cek kesehatan dan pengobatan gratis yang digelar Yayasan Kontak Indonesia dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JKPM) Surya Sumirat, di kawasan Jalan Asia Afrika Kota Bandung, Minggu (25/9/2011).

"Tujuan acara yang rutin digelar 2 kali dalam setahun tersebut, untuk memerhatikan kesehatan para pemulung yang ada di Kota Bandung, dari tahun 2006 program ini telah digelar, telah terdata ada 800 pemulung yang masuk dalam data kami," tutur Direktur Program Yayasan Kontak Indonesia Endy Sulistiawan.

Pengobatan gratis tersebut diprioritaskan kepada para pemulung karena mereka mempunyai KTP Kota Bandung, berpindah-pindah tempat tinggal, dan berdekatan dengan penyakit.

"Rata-rata saat pengobatan dan cek kesehatan mereka mengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Meski diberikan secara gratis, banyak yang tidak mau memeriksakan diri. Sekarang saja dari 300 orang yang terdata hanya 203 orang yang ikut untuk di cek kesehatannya," imbuhnya.

Selain pengobatan dan cek gratis, pihaknya seringkali melakukan penyuluhan terkait masalah keamanan dan kesehatan kerja di tempat pembuangan sampah (TPS).

"Kami sering memberikan penyuluhan dan juga peralatan untuk menjaga kesehatan dan keamanan mereka seperti sepatu bot, tetapi tetap saja tidak digunakan," ucapnya.

INILAH.COM

Pemulung dan Sampah Rumah Tangga

Bandar Lampung - Tiga kresek berisi gelas dan botol plastik eks minuman kemasan akhirnya berhasil diserah terima- kan kepada pemulung. Barang-barang tersebut sengaja dikumpulkan tersendiri, karena selain “sedikit” ikut peduli terhadap lingkungan, itu bermanfaat pula buat orang lain, terutama pemulung.

Selanjutnya barang-barang tersebut di daur ulang oleh pabrik-pabrik di Pulau Jawa untuk dijadikan aneka produk baru. Setidaknya ini mengurangi penumpukan sampah anorganik yang memang sulit terurai di alam bebas.

Sang pemulung bergerobak kayu itu pun mengucapkan terima kasih. "Wah, terbalik Pak! Saya yang berterima kasih karena barang-barang ini enggak lagi jadi sarang nyamuk di tempat saya," ucap saya. "Iya ini kan enak sudah langsung dipilihin, biasanya harus ngorek-ngorek di tumpukan sampah," tukas pemulung tadi seraya mengucapkan terima kasih sekali lagi.  "Iya sama-sama Pak," kata saya.

Memang, biasanya sampah plastik itu kami buang di tukang sampah yang setiap haro menyambangi areal permukiman kami. Namun, oleh tukang sampah dicampur aduk dengan sampah organik di gerobak kuningnya, meskipun sudah diberitahu kalau keresek tersebut berisi plastik-plastik bekas.

Saya sih berpikir kenapa si bapak tukang sampah ini tak sekalian jadi pemulung juga ya, menyortir sampah yang bisa didaur ulang, kan lumayan buat tambahan pemasukan meskipun tak seberapa nilainya. Toh tiap hari bergulat dengan sampah. Kalau mau lebih praktisnya, ia meminta rumah tangga penghasil sampah untuk memilah sampah organik dan anorganik di kantong yang berbeda.

Ngomong-ngomong soal pemulung, saya jadi teringat para pemulung yang marak membawa gerobak beserta anak dan istri di sepanjang jalan protokol di Kota Tapis ini menjelang Lebaran kemarin. Kala itu miris melihatnya, mereka (ibu dan beberapa anak masih kecil) duduk di trotoar beralas kardus. Sementara si bapak berada sekitar sepuluh meter duduk di samping gerobaknya.

Tak cuma satu, saya juga melihat lebih dari sepuluh keluarga pemulung yang terpencar di sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro hingga Jalan Kartini. Kok mereka sekarang tidak terlihat lagi ya, ke manakah gerangan? Apakah mereka pulang kampung dan belum kembali lagi? Atau seperti kata rekan saya bahwa mereka itu hanya pemulung musiman, modus menjelang Lebaran? Ah, entahlah.

Kelak pasti saya akan mencari tahu jawabannya. Ya, bagaimanapun juga mereka tetap berperan ikut menjaga kelestarian lingkungan. [ lampungpost.com ]

Rabu, 07 September 2011

Belajar Mengelola Sampah dari Korea

Program daur ulang dan manajemen sampah di Korea Selatan tidak hanya berhasil mengurangi limbah namun juga berhasil menjadikan sampah sebagai sumber energi.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea dengan berbagai kebijakannya, berhasil menggalak- kan program daur ulang di Negeri Ginseng itu sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja baru. Hal tersebut dilakukan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang mampu memanfaatkan kembali sumber daya (Resource Recirculation Society).

Kebijakan “Extended Producer Responsibility” (EPR) dari pemerintah mewajibkan perusahaan dan importir untuk mendaur ulang sebagian dari produk mereka.

Lima tahun setelah kebijakan EPR ini diluncurkan yaitu pada 2003, sebanyak 6,067 juta ton sampah berhasil didaur ulang dengan manfaat finansial mencapai lebih dari US $1,6 miliar.

Pada 2008, sebanyak 69.213 ton produk plastik berhasil didaur ulang, membawa manfaat ekonomi sebesar US$69 juta. Selain itu, dalam masa empat tahun penerapan EPR (2003-2006), sistem ini berhasil menciptakan 3.200 lapangan kerja baru .

Manfaat EPR terhadap lingkungan juga tak kalah besarnya. Dengan mendaur ulang produk-produk yang ditentukan oleh EPR, Korea berhasil mengurangi emisi karbon dioksida rata-rata 412.000 ton per tahun. Sistem EPR juga berhasil mencegah terciptanya 23.532 ton emisi gas rumah kaca dari pembuangan dan pembakaran sampah plastik.

Walaupun jumlah sampah di Korea terus meningkat (sejak tahun 2000), namun jumlah sampah yang berhasil didaur ulang juga terus naik.

Contoh, pada tahun 1995, sebanyak 72.3% sampah padat dibuang di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan hanya 23,7% yang berhasil didaur ulang. Pada tahun 2007, 57.8% sampah padat berhasil didaur ulang dan hanya 23,6% yang dibuang. Pada tahun yang sama, sebanyak 81,1% dari total sampah berhasil didaur ulang.

Dengan berkurangnya sampah dan tempat pembuanganya, bisnis baru tercipta. Proyek Pemulihan Kembali Gas Dari Sampah Korea (Korea’s Landfill Gas Recovery Project) kini menjadi sebuah proyek pengembangan energi bersih besar dengan kapasitas energi mencapai 50 MWh dan memroduksi 363.259 MWh pada tahun 2009.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Perkotaan (Metropolitan Landfill Power Plant) telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 0,4 juta ton antara April dan November 2007. Proyek ini diharapkan mampu mengurangi 7 juta ton emisi gas rumah kaca dalam jangka waktu 10 tahun (dari April 2007 hingga April 2017).

Dalam periode yang sama, pembangkit tersebut diharapkan mampu menghemat biaya pemerintah sebesar US$126 juta. Pembangkit ini juga telah berhasil mengurangi impor minyak Korea sebesar 530.000 barel pada tahun 2009.

Sumber: UNEP Green Economy