Selasa, 20 Desember 2011

Sukarno, Sang Pemulung Kreatif

Solo - Namanya Sukarno. tinggal di rumah susun yang selanjutnya dinamakan flat Jurug, Solo. Pria yang kerap disapa dengan Mas Karno ini adalah seorang pemulung yang cacat kakinya.

Mas Karno adalah seorang seniman yang gigih, pantang menyerah dan kreatif. Dari barang-barang bekas yang dipungutnya, Mas Karno mampu menyulapnya menjadi sebuah kerajinan yang indah, fungsional dan mempunyai nilai jual.

Selain membuat kerajinan dari barang-barang bekas, Mas Karno juga melakukan bisnis kecil-kecilan seperti menjual es batu, tabung gas 3 kg-an dan pengisian pulsa, untuik menopang kehidupannya sehari-hari.

Kemanapun pergi, selalu menaiki sepeda motor yang sudah dimodifikasinya menjadi beroda tiga. Kendati sesungguhnya Mas Karno ingin mengendarai layaknya sepeda motor yang beroda dua. Tetapi saudaranya tidak mengijinkankannya, karena alasan keamanan.

Dan satu hal lagi yang membanggakan adalah Iis Susilowati, istrinya yang meskipun memliliki cacat tubuh seperti dirinya, namun tetap bersemangat sebagai atlet bola voli duduk. Bahkan sore kemarin, (Senin, 19/12/2011), ia berhasil meraih medali emas dalam pertandingan voli duduk ASEAN Para Games VI.

sumber : paragames-2011.com

Minggu, 11 Desember 2011

10 Botol Plastik Bekas Untuk Masuk Monas

Jakarta - Siapa bilang masuk ruang-ruang diorama Monumen Nasional itu perlu uang? Tidak juga ya, paling tidak pada Kamis siang lalu (8/12), saat tiketnya bisa diubah menjadi 10 botol kemasan bekas air mineral.

Ya, siang itu pengelola Monumen Nasional punya gawe khusus mengaitkan wisata dengan kesadaran lingkungan hidup. Caranya sangat mudah, mendorong masyarakat membuang sampah pada tempatnya dan bahwa sampah anorganik itu juga memberi nilai ekonomi alias nafkah yang lumayan.

Pada siang itu, ada yang cukup berbeda karena ada satu mesin berbentuk kotak berkelir merah-kuning yang mirip mesin ATM. Namun sosoknya lebih besar lagi dan dilengkapi unit memindai dan lubang cukup besar; dari lubang tertutup plastik itulah botol kemasan bekas air minum dimasukkan setelah dipindai labelnya.

Nama alat yang cukup berat dan kekar namun menyenangkan dalam penggunannya adalah Reserve Vending Machine (RVM). Dalam bahasa Indonesia populernya sederhana saja: mesin mengolah sampah. Mesin ini sendiri sebetulnya telah beberapa kali hadir di ruang publik walau masih pada kalangan terbatas dan kini publik memiliki akses menggunakan sekaligus "menikmati" khasiatnya.

"Hanya dengan sepuluh botol plastik bekas anda bisa mengajarkan kepada anak anda bagaimana cara membuang sampah yang benar, sekaligus mengajarkan sejarah Indonesia," kata seorang pengelola Tugu Monumen Nasional itu.

Mengumpulkan 10 botol kemasan bekas air minum itu berarti seseorang mengumpulkan 50 poin karena satu botol yang disetorkan dihargai 10 poin. "Harga" tiket masuk menurut cara itu adalah minimal 50 poin. Botol-botol plastik yang dimasukkan ke dalam mulut mesin itu akan dicacah menjadi serpihan plastik, dan serpihan-serpihan dengan daya tampung hingga puluhan kilogram itulah yang kemudian dijual kepada pengepul plastik bekas.

RVM diserahkan untuk dipergunakan oleh pihak-pihak di Tanah Air yang peduli dengan kelestarian lingkungan kepada pengelola Tugu Monumen Nasional itu. Mereka tergabung dalam Program Gerakan Membuang Sampah (Gemas), dan  diprakarsai Jaring Bisnis Indonesia (IBL), PT Tirta Investama (Danone Aqua) dan LKBN ANTARA.

RVM ditempatkan di pintu masuk ruang diorama Tugu Monumen Nasional selama setahun. Apakah cuma itu kegunaan mesin buatan Korea Selatan itu?

Ternyata jauh lebih lagi, karena yang ingin dicapai adalah proses mengedukasi masyarakat agar biasa membuang sampah pada tempatnya. Mungkin "target" ini sangat sederhana kedengarannya, yaitu membuang sampah pada tempatnya. Namun pada kenyataannya tidak demikian karena berkaitan dengan "budaya" perilaku masyarakat yang terlanjur telah terbentuk.

"Mesin ini bisa menjadi edukasi kepada masyarakat dan anak-anak sejak dini untuk membuang sampah pada tempatnya," kata seorang perwakilan dari Danone-Aqua.

Direktur Eksekutif IBL, Yanti Triwadiantini, mengatakan upaya itu juga bagian dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan beberapa perusahaan yang bekerja sama. "Gerakan ini diharapkan dapat mengubah perilaku orang dan gerakan ini menjadi bentuk kepedulian kami terhadap sosial," katanya.

Adapun Direktur Utama Perum LKBN ANTARA, Ahmad Mukhlis Yusuf, yang juga hadir pada kesempatan itu, berujar, "Perjuangan kita semua hari ini bukan lagi merebut kemerdekaan seperti dulu, melainkan membangun masyarakat baru lebih arif. Bersama IBL dan Danone-Aqua, ANTARA turut ambil bagian membangun Indonesia yang hijau dan sehat."

ANTARA News

Selasa, 22 November 2011

Pemulung Tolak Investor Korea

Karanganyar - Para pemulung yang biasa mencari nafkah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Desa Sukosari Kecamatan Jumantono menolak rencana pengelolaan sampah oleh investor asal Korea. Pasalnya mereka takut jika mata pencaharian utamanya direnggut para investor.

Salah satu pemulung, Ngadiyem (50) menyatakan dirinyan khawatir akan kehilangan pekerjaannya untuk mengais rezeki bagi keluarganya/ “Saya tidak setuju, biarkan saja seperti ini. Biarkan dikelola oleh bangsa sendiri tidak usah oleh orang Korea. Kalau dikelola asingm pasti nanti masyarakat umum tidak boleh masukm terus saya makan apa?” ujarnya saat ditemui  di TPA Jumantono. Senin (21/11).

Penolakan tersebut, terlihat jelas dari kata-kata yang dikeluarkan olehnya kepada wartawan karena semakin hari dieinya mrasa mencari uang sedikit saja susahnya minta ampun. Karena itu dirinya berharap kersa sama tersebut dibatalkan. “Kita ini orang kecil, bisanya apa to,” kata ibu yang sudah memulung disana selama lima tahun ini.

Total pemulung di TPA tersebut, menurutnya mencapai 30-60 pemulung yang setiap harinya bekerja memilah plastik untuk dijual kembali ke pengepul seharga Rp 300 per kilogram.

Sementara itu, pemulung lainnya, Sumiyati (37) mengaku belum mengetahui persis adanya rencana kerjasama pengelolaan dengan orang Korea tersebut. Namun dirinya mengaku pasrah jika memang Pemkab mau menggandeng pihak investor tersebut untuk mengelola TPA di Jumantono.

“Kalau disuruh memilihm tentu saja memilih agar diperbolehkan tetap memulung disini, karena selama ini mulung sampah ini satu-satunya nafkah kami.” Ujar pemulung yang berasal dari desa sawit, Kecamatan Polokarto Sukoharjo ini.

Misalkan tidak diperbolehkan, dirinya dan beberapa rekan lainnya pasti akan mencari tempat lain untuk memulung guna mengepulkan asap dapur. ” Ya semoga saja  masih diperbolehkan,” kata dia.

Sebelumnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani menegaskan bahwa saat ini Pemkab telah mulai menjajaki langkah kerja sama dengan investor asal Korea tersebut. Selain mulai menambahkan areal lahan TPA sekitar 6000 meter, diharapkan dengan adanya kerja sama tersbut Pemkab dapat menghemat sekitar Rp 4 miliar yang selama ini digunakan untuk mengelola sampah.

Selebihnya, dirinya berjanji akan tetap mengupayakan seluruh warga dan tenaga kerja yang telah bekerja di TPA tetap dipakai dan bekerja disana. “Tetapi nanti itu terserah dari investor, kita hanya mengusulkan, pasalnya tentu mereka mempunyai konsep dan ide tersendiri.” imbuh dia.

[ harianjoglosemar.com ]

Selasa, 08 November 2011

Idul Adha di Kampung Pemulung Pancoran

Jakarta - Menyambut hari raya Idul Adha 1432H (7/11) Telkom CDC Area Jakarta Banten melakukan pemotongan hewan kurban di Komunitas Kampung Pemulung RT.06 RW.02 Kel. Pancoran, Kec. Pancoran, Jakarta Selatan.

Pemotongan hewan kurban bantuan Telkom berupa 1 ekor sapi ini diserahkan langsung oleh Manager CDC Area Jakarta Banten Aep Sunarya kepada Ustad Chandra selaku pengurus Musholla At Taqwa yang disaksikan bersama oleh Mustopa Baperohis Jakarta, Unit SAS, Edi Santoso Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Cabang Jakarta Selatan serta masyarakat kampung pemulung.

Edi Santoso dalam sambutannya mengatakan, bahwa bantuan kurban Telkom kepada komunitasnya dapat dikatakan merupakan program rutin tahunan. Oleh karena itu kami mewakili warga kampung pemulung mengucapkan terima kasih atas kepedulian Telkom selama ini.

Bantuan lain yang juga pernah kami terima antara lain bantuan dana untuk perbaikan Musholla At Taqwa yang terbakar pada waktu yang lalu, serta kordinasi dan pembinaan yang baik selama ini kepada kami dalam bentuk pengamanan asset dari gangguan pencurian serta vandalisme.

Mustopa mewakili Baperohis Telkom Jakarta mengatakan, bahwa secara keseluruhan hewan kurban yang di tebar Telkom tahun ini sebanyak 26 ekor sapi yang akan didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan khususnya diwilayah operasional Telkom.

Aep Sunarya menambahkan, kegiatan bantuan ini merupakan rangkaian paket kegiatan di 5 titik lokasi diantaranya : Kampung Komunitas Pemulung Pancoran dan Bintaro, Masyarakat sekitar Kantor Telkom di Bantargebang dan Gatot Subroto serta masyarakat miskin di Kec. Kramat Watu Serang. Adapun tema kegiatan kali ini adalah ” Berbagi Nutrisi untuk Umat” kerjasama CDC, Baperohis serta Unit SAS.

Total paket bantuan 5 ekor sapi tersebut senilai Rp. 72 juta. Kembali ia katakan, harapan dari kegiatan tersebut adalah akan menambah hubungan yang lebih baik antara Telkom dengan masyarakat sekitar kantor pelayanan Telkom, serta terjalin komunikasi, kerjasama dalam menjaga keamanan Asset dan Alat produksi Telkom, ujarnya.

comdev2.blogspot.com

Minggu, 30 Oktober 2011

Pemulung Adalah Pahlawan Lingkungan Hidup

Pemulung adalah pahlawan lingkungan hidup dan itu benar. Pemulung sampah di sekitar kita, yang hampir tanpa kenal lelah dan bosan terus memunguti sampah setiap harinya. Sampah di sekitar kita, berupa sampah plastik, kardus bekas makanan, botol air mineral, kertas koran yang tidak lagi berguna, bekas - bekas besi yang tidak mudah di cerna oleh udara dan tanah dan aneka sampah lainnya yang mungkin bagi pemulung sangat berguna sekali guna menyambung hidupnya dan keluarga mereka.

Pekerjaan mereka tentunya ikut membersihkan "Lingkungan Dari Sekitar Tempat Tinggal Maupun Tempat Beraktivitas Kita". Betapa mulianya pekerjaan mereka, tak mengenal, panas, hujan maupun angin. melihat pekerjaan mereka, apakah kita Peduli terhadap Pemulung? Secara jujur banyak yang tidak peduli, dan pernyataan kasarnya adalah, selama mereka dapat uang, silahkan lakukan memulung sampah!

Bahkan banyak tempat disekitar kita yang memasang tanda larangan bagi pemulung, dengan banyak alasan. Antara lain, curiga apabila salah satu dari pemulung akan mencuri barang - barang kita yang masih berguna. Selama kita mampu menjaga barang kita, mengapa takut dan curiga?

Ini satu ajakan dari sisi kemanusiaan, mari mulai peduli dengan pemulung yang adalah pahlawan lingkungan hidup dengan cara sederhana. Kumpulkan barang - barang kita, semisal botol air mineral, plastik, kardus bekas makanan dll dalam satu wadah, kemudian apabila ada pemulung datang, serahkan kepada mereka untuk di daur ulang di tempat yang semestinya.

Dengan metode tersebut, maka kita sendiri telah peduli lingkungan agar lingkungan kita menjadi bersih. Dan juga kita telah menolong meringankan beban para pemulung dalam mengais rejeki dari mengumpulkan sampah. Itu akan bernilai ibadah bagi kita.

Pemulung adalah pahlawan lingkungan hidup, mari kita sedikit peduli dengan mereka dan menghargai apa yang mereka lakukan bagi lingkungan ini. Dan bayangkan sejenak apabila tidak ada seorang pun mau melakukan pekerjaan sebagai pemulung. Apa yang terjadi dengan sampah kita? Apa yang terjadi dengan lingkungan kita?

belantaraindonesia.org

Kamis, 20 Oktober 2011

Pemulung Dilarang Masuk !!!

Yoyakarta - Kalimat peringatan di atas kerap ditemui di berbagai sudut lorong di Yogyakarta baik di kota maupun di desa.

Larangan ini seolah ultimatum bagi para pemulung yang dalam banyak kasus disinyalir sebagai sebuah modus kejahatan yng mengakibatkan warga kehilangan barang- barang miliknya seperti pakaian yang dijemur, perabotan rumah tangga bahkan ada dugaan pemulung sebagai penjahat yang sedang menggambar situasi sebuah lingkungan yang akan dijadikan sasaran aksinya.

Maka tidak salah stigma negatif bagi para pemulung  sudah terlanjur  melekat dalam benak warga. Entah apa yang menjadi persoalan awalnya, pemulung yang menjadi penjahat atau penjahat yang menyamar jadi pemulung. Faktanya sebagaimana yang terjadi selama ini pemulung adalah kelompok profesi yang harus diwaspadai  sehingga dilarang masuk kampung-kampung.

Belakangan benak saya terusik untuk kembali mempertanyakan keabsahan stigma tadi. Apakah semua pemulung adalah penjahat?  Mungkin juga tidak demikian jika kita melihat perilaku salah seorang pemulung/gelandangan yang ada di negeri ‘tirai bambu’ nun jauh di sana.

Di dunia maya, saya melihat dalam tayangan ‘you tube’  ada sebuah kejadian yang tragis dan mengerikan di mana ada seorang bocah  ditabrak sebuah mobil kemudian tergilas oleh ban depan, sejurus kemudian mobil sejenak berhenti. Pengemudi bukan turun untuk menolong,  melainkan tancap gas yang berarti menggilas si bocah untuk kali kedua dengan ban belakang mobilnya. Di belakang mobil tadi melintas pejalan kaki yang hanya melirik korban lalu bergegas pergi.

Berikutnya sebuah truk melindas lagi si bocah dan berlalu begitu saja. Silih berganti ada orang lewat atau kendaraan yang lalu lalang, tapi tidak ada juga yang peduli, sehingga dalam rekaman CCTV pihak keamanan China terlihat orang ke-19 yang membawa karung goni yang kalau di Indonesia mungkin seorang pemulung atau gelandangan. Ironisnya, justru sang gelandangan itulah yang terlihat peduli dan menarik korban ke pinggir jalan kemudian  dia tampak berteriak-teriak meminta pertolongan sehingga ada seorang perempuan berlari menghampiri dan mengendong si anak malang. Belakangan diketahui perempuan tadi adalah ibunya korban.

Lalu apa bedanya pemulung di Indonesia dengan pemulung di China  yang ternyata lebih punya kepedulian sosial? Benarkah semua pemulung penjahat sehingga layak dilarang masuk kampung? Adakah pemulung di Indonesia juga punya hati nurani?

Apapun kondisinya, saya menilai pemulung yang dianggap penjahat  adalah manusia terhormat. Banyak orang salah kira. Pemulung dilarang masuk padahal belum tentu penjahat,  sementara penjahat yang sebenarnya mungkin saja datang mengenakan setelan jas dan berdasi. Pemulung yang jahat paling hanya mencuri pakaian yang dijemur atau ember plastik yang pecah, sedangkan penjahat berdasi, sekali sikat saja bermilyar-milyar uang rakyat yang dirampoknya.

Jadi, masihkah Pemulung Dilarang Masuk?

[ suarakomunitas.net ]

Kamis, 06 Oktober 2011

Dr. Irina Among Praja dan Sekolah Anak Pemulung

Bekasi - Semenjak kecil rasa ingin tahu tentang banyak hal, membuat Dr. Irina Among Praja selalu bertanya tentang apa saja yang menurutnya menarik. Namun dirinya tidak pernah puas atas setiap jawaban yang dia dapat. Begitu pula ketika Ia meniti kehidupan kaum-kaum minoritas seperti anak-anak pemulung yang nasibnya kurang beruntung dalam dunia pendidikan. Di usia mereka seharusnya mendapat hak menikmati bangku sekolah seperti anak-anak Indonesia lainnya, bukan mengais-ngais sampah atau kardus bekas. Apa yang dilakukan Irina agar mereka bisa bersekolah?

Anak adalah anugerah terindah dari Sang Pencipta. Mereka hadir dalam kehidupan atas nama cinta. Perhatian dan kasih sayang adalah senjata untuk  menjadikan mereka generasi penerus bangsa yang memiliki nilai budi perkerti dan akhlak yang baik tentunya. Mulai dari lingkungan kecil seperti keluarga, hingga yang bersifat formal seperti sekolah, merupakan tempat dimana mereka seharusnya berada. Bukan di jalan.

Namun tidak semua generasi penerus bangsa ini memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah, terlebih lagi bagi mereka yang berasal  dari keluarga kurang mampu. Banyak di antaranya mereka yang harus membenam mimpi mereka untuk mendapat pendidikan, terutama bagi anak-anak mereka. Padahal sekolah adalah tempatnya mencetak ‘Habibie’ berikutnya. Miris memang disaat negeri ini sedang berbenah diri menghadapi persaingan global menuntut sumber daya manusia berkualitas, Indonesia yang katanya punya segalanya kalah bersaing dengan bangsa lain.

Berangkat dari keprihatinan dan rasa kepedulian yang tinggi terhadap anak bangsa, Dr. Irina Among Praja mencoba memperbaiki sedikit demi sedikit akar masa depan bangsa ini. Berbagi untuk kaum yang terpinggirkan, mengajak anak-anak pemulung untuk bersekolah. Ya.. “Sekolah Kami” rumah dimana mereka mencari ilmu untuk bekal di masa depan berdiri tahun 2001 di Bintara, Bekasi.

Sekolah yang tadinya tempat pembuangan sampah ini, disulap mejadi ’istana’ para pemulung kecil oleh Irina. Siapa sangka dari tempat yang kotor dan bau, berdiri sebuah sekolah yang di dalamnya terasa kental aura kasih sayang dan ketulusan. Disinilah harapan anak bangsa yang tadinya tersingkirkan bisa menatap kembali masa depan mereka.

Sedikit bercerita, awalnya memang tidak mudah mengajak anak-anak pemulung ini untuk sekolah. “Yang ingin mereka sekolah ya aku, bukan mereka, kalau menunggu mereka mau sampai kapan harus menunggu. Karena mereka biasanya selalu menganggap sepele urusan pendidikan, khususnya para orang tua. Buat mereka yang penting tiap harinya kerja dan bisa makan, untuk apa sekolah lebih baik cari uang ” tegas Irina kepada Inijakarta.com dengan nada sedikit geregetan. Uniknya Irina punya cara tersendiri mengajak anak-anak pemulung untuk pergi sekolah. Mereka dijemput menggunakan mobil. Kenapa ? “Karena kalau tidak dijemput namanya pemulung jalan kaki ke sekolah lihat kardus dipungut, kapan sampainya.” Tambah Irina.

Kerja keras serta keikhlasan Irina bersama teman-teman bak setetes embun penyejuk di tengah kekeringan. Ketika sekolah-sekolah negeri dan swasta berlomba dalam biaya pendidikan, Irina justru menyelenggarakan pendidikan gratis. Sebanyak 120 siswa diajari membaca, menghitung, dan pelajaran umum lainnya, namun titik be­ratnya lebih ke pendidikan akhlak; kejujuran & sopan santun.

Kepolosan terlihat dari wajah mereka yang antusias mengikuti pelajaran dikelas. Sesekali canda tawa mewarnai tingkah laku mereka. Pada dasarnya mereka dididik untuk menjadi manusia yang beretika. ”Kita berusaha menjembatani anak-anak yang belum atau sudah untuk kembali ke sekolah. Mengerjakan apa yang mereka butuhkan dan kita mampu” ungkap wanita asal Bandung, Jawa Barat.

Selain itu, Irina membekali mereka dengan keterampilan seperti membuat pembersih lantai, sabun cair untuk cuci piring & cuci tangan. Juga membuat tas dari kertas daur ulang, kartu ucapan, belajar menjahit, membuat kue, dan membuat pupuk kompos. Hebat ya? Padahal Irina dan rekan mendidik anak-anak dengan sukarela alias  tanpa  digaji seperak pun.

”Belajar peduli pada orang lain terutama pada mereka yang membutuhkan itu memang tidak mudah. Padahal kan didalam harta kita ada 2.5% hak mereka kurang mampu. Sepertinya kita perlu sekali kali pakai bahasa hati untuk bisa mengerti arti sebuah makna.” tegas wanita 52 tahun ini. Usaha dan kerja keras serta kepedulian Irina terhadap pendidikan patut kita tiru. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?.

Alamat Sekolah Kami: Jl. Bintara Jaya IV Dalam Rt 9/3 Bekasi Barat
Alamat dr Irina: Jl. Cipinang Indah Raya E/3 A Jkt 13420 Telp. 021 850 4885

[ inijakarta.com ]

Senin, 26 September 2011

Pemulung di Kota Bandung Tak Punya Biaya Bikin KTP

Bandung - Para pemulung yang tinggal di Kota Bandung rata-rata mengaku tidak memiliki KTP Kota Bandung. Walhasil mereka juga tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

"Saya senang dengan acara ini karena tidak punya uang untuk berobat dan tidak punya Jamkesmas," tutur Dewi (24) di sela-sela cek kesehatan dan pengobatan gratis di Jalan Asia Afrika Kota Bandung, Minggu (25/9/2011).

Dewi yang seorang pemulung itu mengaku bukan tidak mau memiliki KTP Kota Bandung. Namun karena tidak mempunyai uang, wanita asal Banten itu memilih tidak ber-KTP.

"Saya dan suami gak punya KTP, susah ngurusnya dan gak punya uang untuk mengurusnya," tuturnya yang baru satu tahun ini menjadi pemulung.

Hal yang sama diungkapkan Suliah (49). Wanita yang tinggal di bedeng-bedeng dekat rel kereta api kawasan Jalan Sumatera Kota Bandung tersebut mengaku sudah 15 tahun tinggal di tempat tersebut tanpa KTP.

"Saya aslinya dari Dayeuhkolot Kabupaten Bandung, tetapi karena di sana banjir terus jadi saya pindah ke Kota Bandung. Saya gak punya KTP jadi ada pengobatan seperti ini senang saja. Enakan di sini meski hanya jadi pemulung dan tinggal di bedeng. Di tempat asal saya sudah tidak punya apa-apa lagi," tuturnya.

inilahjabar.com

Minggu, 25 September 2011

203 Pemulung di Bandung Ikut Pengobatan Gratis

Bandung - Sebanyak 203 pemulung mengikuti cek kesehatan dan pengobatan gratis yang digelar Yayasan Kontak Indonesia dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JKPM) Surya Sumirat, di kawasan Jalan Asia Afrika Kota Bandung, Minggu (25/9/2011).

"Tujuan acara yang rutin digelar 2 kali dalam setahun tersebut, untuk memerhatikan kesehatan para pemulung yang ada di Kota Bandung, dari tahun 2006 program ini telah digelar, telah terdata ada 800 pemulung yang masuk dalam data kami," tutur Direktur Program Yayasan Kontak Indonesia Endy Sulistiawan.

Pengobatan gratis tersebut diprioritaskan kepada para pemulung karena mereka mempunyai KTP Kota Bandung, berpindah-pindah tempat tinggal, dan berdekatan dengan penyakit.

"Rata-rata saat pengobatan dan cek kesehatan mereka mengidap infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Meski diberikan secara gratis, banyak yang tidak mau memeriksakan diri. Sekarang saja dari 300 orang yang terdata hanya 203 orang yang ikut untuk di cek kesehatannya," imbuhnya.

Selain pengobatan dan cek gratis, pihaknya seringkali melakukan penyuluhan terkait masalah keamanan dan kesehatan kerja di tempat pembuangan sampah (TPS).

"Kami sering memberikan penyuluhan dan juga peralatan untuk menjaga kesehatan dan keamanan mereka seperti sepatu bot, tetapi tetap saja tidak digunakan," ucapnya.

INILAH.COM

Pemulung dan Sampah Rumah Tangga

Bandar Lampung - Tiga kresek berisi gelas dan botol plastik eks minuman kemasan akhirnya berhasil diserah terima- kan kepada pemulung. Barang-barang tersebut sengaja dikumpulkan tersendiri, karena selain “sedikit” ikut peduli terhadap lingkungan, itu bermanfaat pula buat orang lain, terutama pemulung.

Selanjutnya barang-barang tersebut di daur ulang oleh pabrik-pabrik di Pulau Jawa untuk dijadikan aneka produk baru. Setidaknya ini mengurangi penumpukan sampah anorganik yang memang sulit terurai di alam bebas.

Sang pemulung bergerobak kayu itu pun mengucapkan terima kasih. "Wah, terbalik Pak! Saya yang berterima kasih karena barang-barang ini enggak lagi jadi sarang nyamuk di tempat saya," ucap saya. "Iya ini kan enak sudah langsung dipilihin, biasanya harus ngorek-ngorek di tumpukan sampah," tukas pemulung tadi seraya mengucapkan terima kasih sekali lagi.  "Iya sama-sama Pak," kata saya.

Memang, biasanya sampah plastik itu kami buang di tukang sampah yang setiap haro menyambangi areal permukiman kami. Namun, oleh tukang sampah dicampur aduk dengan sampah organik di gerobak kuningnya, meskipun sudah diberitahu kalau keresek tersebut berisi plastik-plastik bekas.

Saya sih berpikir kenapa si bapak tukang sampah ini tak sekalian jadi pemulung juga ya, menyortir sampah yang bisa didaur ulang, kan lumayan buat tambahan pemasukan meskipun tak seberapa nilainya. Toh tiap hari bergulat dengan sampah. Kalau mau lebih praktisnya, ia meminta rumah tangga penghasil sampah untuk memilah sampah organik dan anorganik di kantong yang berbeda.

Ngomong-ngomong soal pemulung, saya jadi teringat para pemulung yang marak membawa gerobak beserta anak dan istri di sepanjang jalan protokol di Kota Tapis ini menjelang Lebaran kemarin. Kala itu miris melihatnya, mereka (ibu dan beberapa anak masih kecil) duduk di trotoar beralas kardus. Sementara si bapak berada sekitar sepuluh meter duduk di samping gerobaknya.

Tak cuma satu, saya juga melihat lebih dari sepuluh keluarga pemulung yang terpencar di sepanjang Jalan Pangeran Diponegoro hingga Jalan Kartini. Kok mereka sekarang tidak terlihat lagi ya, ke manakah gerangan? Apakah mereka pulang kampung dan belum kembali lagi? Atau seperti kata rekan saya bahwa mereka itu hanya pemulung musiman, modus menjelang Lebaran? Ah, entahlah.

Kelak pasti saya akan mencari tahu jawabannya. Ya, bagaimanapun juga mereka tetap berperan ikut menjaga kelestarian lingkungan. [ lampungpost.com ]

Rabu, 07 September 2011

Belajar Mengelola Sampah dari Korea

Program daur ulang dan manajemen sampah di Korea Selatan tidak hanya berhasil mengurangi limbah namun juga berhasil menjadikan sampah sebagai sumber energi.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Korea dengan berbagai kebijakannya, berhasil menggalak- kan program daur ulang di Negeri Ginseng itu sekaligus menciptakan ribuan lapangan kerja baru. Hal tersebut dilakukan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang mampu memanfaatkan kembali sumber daya (Resource Recirculation Society).

Kebijakan “Extended Producer Responsibility” (EPR) dari pemerintah mewajibkan perusahaan dan importir untuk mendaur ulang sebagian dari produk mereka.

Lima tahun setelah kebijakan EPR ini diluncurkan yaitu pada 2003, sebanyak 6,067 juta ton sampah berhasil didaur ulang dengan manfaat finansial mencapai lebih dari US $1,6 miliar.

Pada 2008, sebanyak 69.213 ton produk plastik berhasil didaur ulang, membawa manfaat ekonomi sebesar US$69 juta. Selain itu, dalam masa empat tahun penerapan EPR (2003-2006), sistem ini berhasil menciptakan 3.200 lapangan kerja baru .

Manfaat EPR terhadap lingkungan juga tak kalah besarnya. Dengan mendaur ulang produk-produk yang ditentukan oleh EPR, Korea berhasil mengurangi emisi karbon dioksida rata-rata 412.000 ton per tahun. Sistem EPR juga berhasil mencegah terciptanya 23.532 ton emisi gas rumah kaca dari pembuangan dan pembakaran sampah plastik.

Walaupun jumlah sampah di Korea terus meningkat (sejak tahun 2000), namun jumlah sampah yang berhasil didaur ulang juga terus naik.

Contoh, pada tahun 1995, sebanyak 72.3% sampah padat dibuang di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan hanya 23,7% yang berhasil didaur ulang. Pada tahun 2007, 57.8% sampah padat berhasil didaur ulang dan hanya 23,6% yang dibuang. Pada tahun yang sama, sebanyak 81,1% dari total sampah berhasil didaur ulang.

Dengan berkurangnya sampah dan tempat pembuanganya, bisnis baru tercipta. Proyek Pemulihan Kembali Gas Dari Sampah Korea (Korea’s Landfill Gas Recovery Project) kini menjadi sebuah proyek pengembangan energi bersih besar dengan kapasitas energi mencapai 50 MWh dan memroduksi 363.259 MWh pada tahun 2009.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Perkotaan (Metropolitan Landfill Power Plant) telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 0,4 juta ton antara April dan November 2007. Proyek ini diharapkan mampu mengurangi 7 juta ton emisi gas rumah kaca dalam jangka waktu 10 tahun (dari April 2007 hingga April 2017).

Dalam periode yang sama, pembangkit tersebut diharapkan mampu menghemat biaya pemerintah sebesar US$126 juta. Pembangkit ini juga telah berhasil mengurangi impor minyak Korea sebesar 530.000 barel pada tahun 2009.

Sumber: UNEP Green Economy

Kamis, 18 Agustus 2011

Perayaan HUT RI di Kolong Jembatan

Makassar - HUT RI ke-66 juga dirayakan ratusan murid SD dan SMP dari kalangan anak jalanan dan pemulung di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/8). Mereka merayakan momen itu di bawah kolong jembatan fly over Jalan Urip Sumoharjo, Makassar.

Kondisi itu tak mengurangi semangat nasionalisme mereka. Upacara dimulai dengan ratusan anak jalanan dan pemulung berbaris di taman fly over dengan acara pengibaran bendara Merah Putih. Acara itu ditutup dengan pembacaan Pembukaan UUD 1945.

Anak-anak jalanan itu berharap, pemerintah memperhatikan kaum kecil. Salah satunya, dengan memberikan pendidikan yang layak dan berbiaya murah. Mereka juga berharap mampu meraih masa depan yang lebih baik. [ Liputan6.com ]

Senin, 08 Agustus 2011

Anak Pemulung Jadi Petualang Hijau

Coca-Cola Indonesia bersama karyawannya mengajak 25 anak-anak pemulung binaan Yayasan Ummu Amanah Bantar Gebang untuk menjadi ‘petualang hijau’ melalui berbagai permainan yang bertema Reduce, Reuse, dan Recycle.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan akhir Juli 2011 lalu dan ini merupakan bagian dari program Employee Volunteering “Coca-Cola Berbagi”. Dalam kesempatan tersebut hadir Titie Sadarini selaku Corporate Affairs Director Coca-Cola Indonesia beserta Ratri Wuryandari selaku Live Positively Manager Coca-Cola Indonesia.

Kegiatan Employee Volunteering ini merupakan  konsep yang menarik, dimana seluruh karyawan Coca-Cola Indonesia bergabung bersama anak-anak pemulung Bantar Gebang untuk bermain dan belajar melalui permainan pengembangan diri seperti: leadership, teamwork, story writing, greeneration, dan recycle workshop.

Pada akhir kegiatan, setiap kelompok diminta untuk menulis sebuah cerita pendek berisi pengalaman positif yang mereka dapatkan dalam kegiatan ini untuk kemudian dibagikan kepada anak-anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan SD (Sekolah Dasar) binaan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) Al-Falah Yayasan Ummu Amanah, sebagai sumber inpirasi mengenai budi pekerti dalam membuang sampah, upaya mengurangi sampah, dan pemanfaatan sampah.

“Melalui program Employee Volunteering ini, perusahaan mendorong dan memfasilitasi karyawan untuk lebih peka terhadap lingkungan mereka serta pada akhirnya mereka dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat di sekitar mereka secara nyata,” kata Titie Sadarini, Corporate Affairs Director Coca-Cola Indonesia.

Rencananya sampai akhir tahun 2011 masih akan ada kegiatan serupa yang nantinya akan mengajak berbagai komunitas yang peduli masalah sosial tersebut. [ marketplus.co.id ]

Senin, 20 Juni 2011

Ibu Suryati : Kisah Pemulung di Cikapundung

Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat rekor terbesar untuk kegiatan Kukuyaan terbesar yang dilaksanakan di Sungai Cikapundung, Jawa Barat, pada hari Minggu, 19 Juni 2011. Kukuyaan dalam bahasa Sunda berarti kura-kura. Kegiatan Kukuyaan ini dikenal sebagai kegiatan mengalun di sungai menggunakan ban dalam dan kedua tangan mengayuh seperti layaknya kura-kura.

Ibu Suryati (50 tahun), pemulung sampah di Sungai Cikapundung dari tahun 1979, menyaksikan keramaian dan kemeriahan acara dari atas atap bangunan Paskam di sisi Sungai Cikapundung. Hari itu beliau tidak bekerja memulung sampah di sungai. Kesempatan itu digunakan Ibu Suryati untuk menjemur pakaian dan peralatan memulungnya. “Saya senang jika Sungai Cikapundung Bersih kembali. Dulu air Cikapundung bisa untuk minum dan mandi. Sejak akhir tahun 1980-an air sangat kotor dan sampah menjadi semakin banyak” katanya membuka pembicaraan.

Sejak tahun 1980-an Ibu Suryati sudah menjadi pemulung di Cikapundung. Dulu, beliau dan keluarganya tinggal di Cigondewah, Kopo.  Ibu Suryati adalah anak tunggal, begitu kedua orang tuanya meninggal dunia, hidupnya pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga kini di Cikapundung, beliau tinggal di bawah pohon kersen yang tumbuh di sisi sungai. “Rumah”nya adalah sehelai terpal biru berukuran 10 meter yang menjadi atap jika masing-masing ujungnya dikaitkan ke sisi-sisi pohon.

“Jam kerja saya malam hari” Kata Ibu Suryati setengah berkelakar. “Saya memulung mulai dari jam 6.30 malam hingga jam 12 malam. Kalau cape, saya tinggal buka rumah. Lebih enak memulung malam hari, tidak terlalu panas.”

Rekan-rekan pemulung di sungai Cikapundung sebagian besar pria. Untuk mengumpulkan sampah yang mengalun dengan aliran sungai, Ibu Suryati mengaku spesialisasinya adalah plastik. Botol kemasan air minum dan jenis plastik yang beliau sebut sebagai “emberan” memberikan harga jual paling tinggi.

Untuk harga botol kemasan, per kilogram-nya bisa mencapai Rp 7.000. Sedangkan emberan, per kilogram-nya sekitar Rp 1,500. Hasilnya itu dijual ke penampung. Dalam seminggu, penghasilan Ibu Suryani sekitar Rp 150,000.

Selain plastik, apa yang paling banyak ditemukan di sungai?. Ibu Suryati mengaku sering menemukan lintah atau ular sepanjang setengah meter berwarna putih dan hitam. Terutama setelah hujan. Tetapi yang paling mengejutkan beliau adalah menemukan mayat perempuan yang ddalam keadaan terpotong yang dijejalkan dalam sebuah kardus.

Ibu Suryati merupakan ibu dari empat orang anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki dan dua perempuan. Anaknya paling kecil sudah berusia 27 tahun dan sudah berumahtangga. Tapi, menurut Ibu Suryati, sebagai keluarga pun mereka jarang bertemu. “Mungkin mereka malu mempunyai ibu gembel seperti saya” kata Ibu Suryati dengan nada datar.

“Saya akan terus bekerja di Cikapundung. Saya sudah kenal sungai ini sejak lama dan ini seperti rumah saya. Harapan saya pun kalau bisa, saya ingin punya modal, buka warung. Tapi kalau bisa, tidak jauh-jauh dari tempat sekarang ini”. Ibu Suryati berbagi tentang harapannya.

Meskipun hidup sederhana dan seringkali kekurangan, Ibu Suryati menegaskan dengan tegas bahwa dirinya tetap tidak ingin menjadi peminta-minta. “Saya memang gembel, tetapi bukan penegemis. Saya ini pemulung”. Demikian tegasnya menutup kisahnya sebagai seorang pemulung di Sungai Cikapundung.

citarum.org

Selasa, 07 Juni 2011

Mantan Juara di Indonesia, Kini Jadi Pemulung

Jakarta - Pada masa jayanya, Hasan Lobubun merupakan seorang petinju hebat. Kini, setelah pensiun ia malah menjadi seorang pemulung.

Hasan Lobubun menjadi bintang ring tinju pada era tahun 80-an. Sepanjang kaiernya, Hasan pernah menyabet juara nasional kelas bantam junior pada tahun 1987. Kini, perjalanan hidupnya berubah drastis dengan menjadi seorang pengumpul barang-barang bekas.

Setelah beberapa tahun berkarier di ring tinju, kepopuleran Hasan tenggelam pada tahun 1990-an. Beruntung setelah pensiun, promotor Tourino Tidar mau menampungnya.

"Saya memang pernah tinggal di rumah pak Tourino. Tapi, saya sudah tidak di sana lagi karena sasana Tidar tidak aktif." papar Hasan seperti dilansir Bataviase.co.id, Rabu (11/8), ketika bertemu di Jalan Raya Cideng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Pada saat jayanya. Hasan sangat mudah ditemui di setiap pertandingan tinju profesional. Namun setelah hampir sekitar 15 tahun, sosoknya sulit ditemukan. Hasan kini telah beralih profesi sebagai seorang pemulung.

"Saya bekerja seperti ini karena tidak ada lagi pekerjaan. Ini demi menyambung hidup apalagi saya tidak punya saudara di Jakarta." tutur pria asal Ambon itu.

Di masa keemasannya, Hasan mendapat honor cukup lumayan dari olahraga adu jotos itu. Ia sempat membangun rumah tangga dan punya dua anak dari hasil perkimpoiannya. Setelah tidak punya penghasilan, ia bercerai. Kedua anaknya diboyong istrinya yang kini sudah berumah tangga lagi. "Saya sudah lama menduda dan kedua anak saya ikut dengan istri." paparnya.

Hasan menuturkan kehidupan pahitnya yang sudah hampir 7 tahun tidak bertemu dengan kedua anaknya. Berbagai pekerjaan sudah di lakoninya. Bahkan, ia pernah menjadi tukang parkir di Jalan Taman Tanah Abang II dekat kediaman Tourino Tidar.

"Bukan saya tidak mau bertemu, tapi saya tidak sanggup menemui mereka karena tidak punya uang. Biarlah perasaan rindu kepada mereka saya pendam di dalam hati. Kelak, kalau saya sudah punya uang saya pasti menemui mereka." ungkapnya.

Setiap hari Hasan bekerja mulai pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB untuk mencari kardus, barang rongsokan dan botol-botol minuman mineral di daerah sekitar Tanah Abang. Penghasilan yang diperolehnya pun tidak seberapa.

"Maksimal saya hanya bisa mengumpulkan barang bekas senllal 20 ribu, dan terkadang di bawah Itu karena banyak saingan. Saya menjualnya ke Jembatan Lima tempat penampungan." jawab pria lulusan Sekolah Dasar yang berharap pemerintah mau memberikan perhatian dan bantuan kepadanya. [ venom97.blogspot.com ]

Minggu, 29 Mei 2011

Kiprah Para Pemulung

Jakarta - Tak disangka bisnis pemulung ternyata lumayan besar. Ini adalah bisnis rakyat kecil yang bisa jadi juga belum tersentuh bank. Namun dengan kerja keras tanpa lelah, pemulung bisa bertahan dan memiliki sekaligus membangun jaringan kerja yang solid.

Kita mungkin pernah berhubungan dengan pemulung atau pebisnis barang bekas yang sering lalu lalang di kawasan permukiman. Masalahnya, apakah kita peduli akan nasib para pelaku bisnis skala sangat kecil itu?

Untuk memperkuat posisi mereka lantas membentuk organisasi. Menurut saya, langkah ini tidak hanya sebatas untuk mengidentifikasi diri dan survival tetapi juga strategi pemulung guna memperlancar usaha mereka.

Benar apa yang dikatakan Bapak Kuswoyo, ketua Umum Ikatan Pemulung Indonesia, bahwa eksistensi mereka masih dipandang sebelah mata. Kehadiran pemulung dinilai tak lebih sebagai laskar tak berguna. Pandangan ini menurut saya adalah salah besar. [ Bisnis Indonesia ]

Senin, 18 April 2011

Pemprov Bantah Tudingan Pemulung Masuk LKPj

Bandung - Pemprov Jabar membantah pernyataan Wakil Ketua Pansus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur yang mengungkapkan ada sekitar 250 ribu lebih kesempatan kerja sebagai pemulung di Jawa Barat.

Memang Pemprov Jabar memasukkan pekerja informal yang jumlahnya cukup besar, namun tidak termasuk pemulung.

Kepala Biro Humas Protokol dan Umum Ruddy Gandakusumah menjelaskan, nilai ekonomis sektor informal cukup besar karena bisa mencapai puluhan miliar.

Pemulung tidak termasuk dalam pencatatan by name by address by job by company,” ujar Rudy dalam keterangan resminya yang diterima INILAH.COM, Senin (18/4/2011).

Rudy menjelaskan, memang ada perbedaan jumlah tenaga kerja antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar. Pendataan dilakukan melalui mekanisme pendataan informasi pasar kerja (mikro) dan mekanisme sensus 2010.

“Pendataan cara mikro dilakukan dengan pendataan sistem informasi pasar kerja, pendataan kartu AK.1 (kuning), pendataan oleh petugas fungsional pengantar kerja, pendataan informasi lowongan kerja, serta pendataan penempatan tenaga kerja. Sementara mekanisme sensus dilakukan dengan waktu pencacahan dari bulan Agustus ke Agustus berikutnya. Pencacahan tidak mendata TKI, antar kerja antar daerah dan antarkerja antarlokal, bursa kerja khusus, job fair, dunia maya, serta media koran,” ungkapnya.

Rudy menambahkan, pencatatan bursa kerja (pemerintah dan swasta) pada tahun 2009 ada 502.958 orang dan 560.344 pada tahun 2010. Ditambah juga 218.235 kesempatan kerja dari hasil investasi Rp17 triliun di Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Jabar.

“Kesempatan kerja tidak bersumber dari PMA dan PMDN saja, tetapi bisa juga dari sumber-sumber yang dilakukan KUMKM atau skala mikro dan kecil. Jumlahnya lebih banyak termasuk pekerja mandiri sehingga jumlah 1.063.302 adalah yang tercatat sesuai tupoksi Disnakertrans Jawa Barat,” tegasnya.

inilahjabar.com

Selasa, 12 April 2011

Ketahanan Sosial Komunitas Pemulung Kota Malang

Fenomena pemulung di kota Malang sebagai bagian dari pekerjaan sektor informal merupakan ekses dari adanya lapangan pekerjaan formal yang tidak sebanding dengan para pencari kerja. Kaum urban yang datang membawa harapan akan nasib yang lebih baik di kota harus mencari laternatif pekerjaan lain di sektor informal. Ketiadaan skill dan pendidikan rendah membuat komunitas pemulung berada di posisi marginal.

Jika dilihat secara fungsional, keberadaan pemulung dalam kehidupan kota memang banyak membantu pemerintah dalam mengurangi volume sampah masyaraka. Namun, masih banyak konstruksi negatif dari masyarakat terhadap pemulung. Hal itu disebabkan profesi memulung yang rentan dengan tindak kriminal, seperti mencuri. Kehidupan urban pemulung yang identik dengan pemukiman kumuh dapat merusak wajah kota membuat komunitas pemulung semakin tidak memiliki bargainning.

Banyak tekanan yang dihadapi. Baik itu dari segi sosial, ekonomi maupun politik. Delapan belas tahun mereka masih menempati pemukiman di Bantaran Sungai Brantas. Hal ini cukup membuktikan bahwa mereka memiliki imunitas atau daya tahan dalam menghadapai tekanan agar tetap survive. Studi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung di Bantaran Sungai Brantas RT 7 RW 5 Kelurahan Penanggungan Malang.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan setting di pemukiman pemulung bantaran sungai Brantas RT 7 RW 5 Kelurahan Penanggungan Kec. Klojen, Malang. Sebagai subjek penelitian dipilih 9 orang pemulung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, interview, dan dokumentasi. Teknik pengolahan data menggunakan analisa deskriptif kualitatif.

Dari hasil studi, terdapat tiga bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung, yakni ketahanan secara sosial, ekonomi dan politik. Ketahanan secara sosial dilihat dari hubungan dengan interaksi komunitas dengan lingkungan diluarnya maupun dengan sesamanya. Ketahanan secara ekonomi diidentifikasi melalui cara pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Sedangkan ketahanan secara politik diidentifikasi melalui cara yang digunakan komunitas dalam mengahadapi tekanan-tekanan berupa norma yang dibuat oleh masyarakat yang kurang menguntungkan dari sebuah lembaga atau institusi.

Hasil studi juga menunjukkan bahwa komunitas pemulung ini merupakan pemulung klasik, dimana mereka belum bersentuhan dengan teknologi modern seperti saat ini. Meskipun mereka sudah memiliki jaringan, namun aktivitas pemulung ini masih berorientasi subsistensi.

Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teori Fungsional Struktural dari Talcott Parson untuk menganalisis bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung melalui syarat-syarat fungsional sistem, yakni analisis AGIL, dimana bentuk ketahanan ekonomi merupakan manifestasi yang dominan dari fungsi Adaptasi yang terdiri dari Adaptation, Pencapaian kebutuhan ekonomi agar tetap survive sebagai Goal Attainment, Tindakan kolektif dalam hubungan keluar sebagai bentuk Integration dalam melindungi kolompok, dan Latency yang dibentuk komunitas di dalam penanaman nilai ekonomi pada diri anak.

student-research.umm.ac.id

Minggu, 13 Maret 2011

Penghasilan Pemulung Menjanjikan

Bandung - Pemulung di lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, mengaku bisa mendapatkan penghasilan hingga ratusan ribu rupiah dalam satu minggu.

Hal itu diungkapkan oleh salah seorang pemulung bernama Holidin (31) warga Gunung Halu Kabupaten Bandung Barat, yang ditemui sedang memilah sampah diantara gunungan sampah, Sabtu (13/3).

Holidin mengakui kalau ia bisa mengumpulkan sekitar 60 ton sampah, dan mendapatkan upah minimal Rp 350.000,00 dan paling besar Rp. 600.000,00 dalam lima hari.

Berprofesi sebagai pemulung meskipun memiliki risiko kecelakaan tertimbun alat berat atau sampah dan terserang penyakit, menurutnya lebih baik daripada jadi pengemis. "Sampah tiap hari ada, semua orang yang cari sampah disini nggak takut nggak dapat uang. Jadi pengemis bisa kena razia, selain itu kesannya jadi seperti pemalas," katanya. [ pikiranrakyat.com ]

Kamis, 10 Maret 2011

Beginilah Kehidupan Para Pemulung di Kamboja

Phnom Penh - Sampah selalu jadi problem bagi warga kota-kota besar. Namun, ternyata sampah juga menjadi “sumber kehidupan” bagi warga miskin. Layaknya di negara kita, di pinggiran kota Phnom Phen Kamboja, juga banyak pemulung yang hidup di kawasan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Diperkirakan jumlahnya mencapai 2000 warga, 600 diantaranya adalah anak-anak. [indotainment.info]

Selasa, 01 Maret 2011

Lapak Sampah Terpadu Desa Cililin

Bandung - Lapak Sampah Terpadu Desa Cililin kabupaten Bandung Jawa Barat adalah program pemberdayaan pemulung sampah dengan prinsip penampungan dan pengelolaan sampah anorganik. Program dengan sistem pembentukan kelompok pemulung dan pencacah sampah itu telah sukses dan terbukti meningkatkan kualitas hidup pemulung. Program ini telah membantu 325 pemulung dengan tingkat pendapatan yang meningkat 100 %.

Tujuan :
1.Menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
2.Mengembangkan potensi ekonomi dan kebersihan daerah.
3.Meningkatkan kapasitas dan kopetensi masyarakat dalam usaha daur ulang sampah anorganik.
4.Untuk mengurangi tingkat pencemaran sampah.
5.Untuk membangun jaringan usaha masyarakat.

jasainternetmarketing.com

TPA Jalupang Kelebihan Kapastitas, Picu Ratusan TPS Liar

Karawang.- Tempat pembuangan Akhir (TPA) sampah di TPA Jalupang, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang yang sudah melebih kapasitas memicu munculnya ratusan titik Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar yang tersebar merata hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang.

Dari pantauan "PRLM", Selasa (1/2) beberapa titik tempat pembuangan sampah liar berada di jalan-jalan perumahan dan di bantaran Sungai Citarum. sampah pun hanya ditumpuk begitu saja menunggu untuk diangkut. Beberapa diantaranya dibakar hingga menimbulkan polusi.

Ruhyan (35), salah seorang warga Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat mengatakan Dipo mobil bak sampah juga menjadi salah satu tempat pembuangan sampah bagi masyarakat sekitar Karangpawitan. Padahal tempat tersebut hanya berjarak 50 meter dari sekolah. "Kebanyakan sampah rumah tangga yang dibuang. Karena tidak diangkut, jika sore hari hanya dibakar oleh warga saja, sisanya juga ada yang dikais oleh pemulung," katanya.

Kondisinya yang sama juga terjadi di Kecamatan Klari. Tumpukan sampah yang berlokasi di tempat pembuangan sampah sementara(TPSS) Kampung Kalihurip Desa Duren, Kecamatan Klari semakin meluas. Bahkan, tak jarang sampah tersebut tumpah ke jalanan karena sudah tak tertampung bak kontainer yang disiagakan petugas kebersihan.

Sementara itu, Kepala Bidang Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Dinas Cipta Karya Kab. Karawang, Agus Sugiono mengatakan Pemicu terjadinya penumpukan sampah yang tersebar hampir di seluruh Kab. Karawang,salah satunya disebabkan adanya peningkatan volume sampah baik sampah domestik (rumah tangga) maupun sampah pasar yang cenderung meningkat.

Sedangkan daya angkut statis sehingga dengan sendirinya penumpukan sampah meningkat."Volume sampah di Kabupaten Karawang ini hampir 1000 ton perhari, sementara mobil bak pengangkut sampah hanya sekitar 40 unit. Ini sangat tidak ideal," ujarnya.

pikiran-rakyat.com