Senin, 18 April 2011

Pemprov Bantah Tudingan Pemulung Masuk LKPj

Bandung - Pemprov Jabar membantah pernyataan Wakil Ketua Pansus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur yang mengungkapkan ada sekitar 250 ribu lebih kesempatan kerja sebagai pemulung di Jawa Barat.

Memang Pemprov Jabar memasukkan pekerja informal yang jumlahnya cukup besar, namun tidak termasuk pemulung.

Kepala Biro Humas Protokol dan Umum Ruddy Gandakusumah menjelaskan, nilai ekonomis sektor informal cukup besar karena bisa mencapai puluhan miliar.

Pemulung tidak termasuk dalam pencatatan by name by address by job by company,” ujar Rudy dalam keterangan resminya yang diterima INILAH.COM, Senin (18/4/2011).

Rudy menjelaskan, memang ada perbedaan jumlah tenaga kerja antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar. Pendataan dilakukan melalui mekanisme pendataan informasi pasar kerja (mikro) dan mekanisme sensus 2010.

“Pendataan cara mikro dilakukan dengan pendataan sistem informasi pasar kerja, pendataan kartu AK.1 (kuning), pendataan oleh petugas fungsional pengantar kerja, pendataan informasi lowongan kerja, serta pendataan penempatan tenaga kerja. Sementara mekanisme sensus dilakukan dengan waktu pencacahan dari bulan Agustus ke Agustus berikutnya. Pencacahan tidak mendata TKI, antar kerja antar daerah dan antarkerja antarlokal, bursa kerja khusus, job fair, dunia maya, serta media koran,” ungkapnya.

Rudy menambahkan, pencatatan bursa kerja (pemerintah dan swasta) pada tahun 2009 ada 502.958 orang dan 560.344 pada tahun 2010. Ditambah juga 218.235 kesempatan kerja dari hasil investasi Rp17 triliun di Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BKPPMD) Jabar.

“Kesempatan kerja tidak bersumber dari PMA dan PMDN saja, tetapi bisa juga dari sumber-sumber yang dilakukan KUMKM atau skala mikro dan kecil. Jumlahnya lebih banyak termasuk pekerja mandiri sehingga jumlah 1.063.302 adalah yang tercatat sesuai tupoksi Disnakertrans Jawa Barat,” tegasnya.

inilahjabar.com

Selasa, 12 April 2011

Ketahanan Sosial Komunitas Pemulung Kota Malang

Fenomena pemulung di kota Malang sebagai bagian dari pekerjaan sektor informal merupakan ekses dari adanya lapangan pekerjaan formal yang tidak sebanding dengan para pencari kerja. Kaum urban yang datang membawa harapan akan nasib yang lebih baik di kota harus mencari laternatif pekerjaan lain di sektor informal. Ketiadaan skill dan pendidikan rendah membuat komunitas pemulung berada di posisi marginal.

Jika dilihat secara fungsional, keberadaan pemulung dalam kehidupan kota memang banyak membantu pemerintah dalam mengurangi volume sampah masyaraka. Namun, masih banyak konstruksi negatif dari masyarakat terhadap pemulung. Hal itu disebabkan profesi memulung yang rentan dengan tindak kriminal, seperti mencuri. Kehidupan urban pemulung yang identik dengan pemukiman kumuh dapat merusak wajah kota membuat komunitas pemulung semakin tidak memiliki bargainning.

Banyak tekanan yang dihadapi. Baik itu dari segi sosial, ekonomi maupun politik. Delapan belas tahun mereka masih menempati pemukiman di Bantaran Sungai Brantas. Hal ini cukup membuktikan bahwa mereka memiliki imunitas atau daya tahan dalam menghadapai tekanan agar tetap survive. Studi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung di Bantaran Sungai Brantas RT 7 RW 5 Kelurahan Penanggungan Malang.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan setting di pemukiman pemulung bantaran sungai Brantas RT 7 RW 5 Kelurahan Penanggungan Kec. Klojen, Malang. Sebagai subjek penelitian dipilih 9 orang pemulung. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, interview, dan dokumentasi. Teknik pengolahan data menggunakan analisa deskriptif kualitatif.

Dari hasil studi, terdapat tiga bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung, yakni ketahanan secara sosial, ekonomi dan politik. Ketahanan secara sosial dilihat dari hubungan dengan interaksi komunitas dengan lingkungan diluarnya maupun dengan sesamanya. Ketahanan secara ekonomi diidentifikasi melalui cara pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Sedangkan ketahanan secara politik diidentifikasi melalui cara yang digunakan komunitas dalam mengahadapi tekanan-tekanan berupa norma yang dibuat oleh masyarakat yang kurang menguntungkan dari sebuah lembaga atau institusi.

Hasil studi juga menunjukkan bahwa komunitas pemulung ini merupakan pemulung klasik, dimana mereka belum bersentuhan dengan teknologi modern seperti saat ini. Meskipun mereka sudah memiliki jaringan, namun aktivitas pemulung ini masih berorientasi subsistensi.

Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teori Fungsional Struktural dari Talcott Parson untuk menganalisis bentuk ketahanan sosial komunitas pemulung melalui syarat-syarat fungsional sistem, yakni analisis AGIL, dimana bentuk ketahanan ekonomi merupakan manifestasi yang dominan dari fungsi Adaptasi yang terdiri dari Adaptation, Pencapaian kebutuhan ekonomi agar tetap survive sebagai Goal Attainment, Tindakan kolektif dalam hubungan keluar sebagai bentuk Integration dalam melindungi kolompok, dan Latency yang dibentuk komunitas di dalam penanaman nilai ekonomi pada diri anak.

student-research.umm.ac.id