Selasa, 03 Januari 2012

Pemulung dan ‘Aktivis Lingkungan’

Coba lihat para pemulung disekitar kita. Terpaan terik matahari yang menyengat, bau sampah dan kotoran dari berbagai macam tanpa ada rasa jijik mengais-ngais sampah guna mengumpulkan barang-barang yang bisa dijual kembali kepada para pengepul rongsok.

Dengan tanpa kenal lelah dan bosan mereka terus memunguti sampah setiap harinya. Sampah di sekitar kita, berupa sampah plastik, kardus bekas makanan, botol air mineral, di bak-bak sampah yang bagi mereka ternyata sangat berguna guna keberlangsungan penghidupan diri dan keluarga mereka.

Kendati demikian, ternyata menjadi pemulung pun tidak gampang. Kini begitu banyaknya orang menekuni profesi ini. Profesi yang mengandalkan barang yang sudah tidak diperlukan orang lain. Profesi yang semata mengandalkan barang-barang yang terbuang.

Adalah suatu kenyataan bahwa sebagian orang dengan jargon kecintaan terhadap lingkungan justru secara demonstratif 'berlomba-loba' mengumpulkan limbah non organik untuk dijadikan tambahan penghasilan secara individu ataupun kelompok mereka.

Sebut saja Bank Sampah... workshop yang seharusnya memberi edukasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan sampah, ternyata justru termanipulir sebagai ajang bisnis-usaha belaka. Siapa yang dapat menyangkal kalau ternyata sebagian besar Bank Sampah belum (tidak ??) peduli pada pemanfaatan sampah organik.

Bank Sampah hanya sibuk mengurusi jual-beli limbah non organik daur ulang yang pada hakikatnya sudah dilaksanakan oleh lapak pemulung sejak tahun 70-an. Bahkan sebagian Bank Sampah justru dijadikan lembaga untuk meraup CSR dari perusahaan-perusahan yang memiliki 'kedekatan' dengan mereka.

Sungguh jauh berbeda dengan lapak pemulung yang sebagian besarnya dibangun dan diselenggarakan berdasarkan cucuran keringat para pemulung dari hasil celengan selama bertahun-tahun ataupun menjual sepetak sawah di kampung halaman.

Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, kendati secara nyata telah menggeluti dunia perlimbahan, namun mereka minim dalam menganulir stigma masyarakat terhadap para pemulung yang cenderung berkonotasi negatif. Bahkan beberapa pihak penyelenggatra Bank Sampah justru 'alergi' kepada para pemulung.

Padahal menjadi pemulung sesungguhnya bukanlah sebuah cita-cita. Harga dirilah yang membuat mereka mengais-ngais sampah agar terhindar dari perbuatan yang melanggar norma-norma. Para pemulung tidak tahu tentang paradigma kecintaan lingkungan. Yang mereka tahu hanyalah bertahan hidup dari limbah daur ulang.

Andai saja di negeri ini kita masih memiliki kepekaan nurani, tentu hal yang demikian tidak akan terjadi. Memang, sampah atau benda-benda yang terbuang oleh pemiliknya adalah milik siapa saja dan kitapun tahu bahwasannya rizki telah diatur oleh-Nya. Namun begitu, apakah berarti kita tega 'merebut kavling rizki' itu ?

Akhir kata... bukankah kecintaan terhadap lingkungan selayaknya dilandasi dengan membangun kecintaan kepada sesama manusia ? Dan para pemulung itu juga adalah manusia yang berada dilingkungan kita. [ swaraanakbangsa.co.cc ]